gift

GIFT

Wisuda STT Amanat Agung • 30 Agustus 2008

(Ringkasan Renungan dalam Upacara Wisuda STT Amanat Agung dan Emeritasi Pdt. Paulus Daun, tanggal 30 Agustus 2008)

"Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran" (Yakobus 1:17)

Dalam upacara wisuda dan emeritasi ini, kita berbicara tentang "Gift" (pemberian). Ada pemberian dukungan, ada pemberian dana, ada pemberian ilmu dan komitmen, ada pemberian diri agar dibentuk, ada pemberian perhatian...maka kita bisa mengadakan acara hari ini. Alkitab banyak bicara soal pemberian. Bahkan keselamatan merupakan pemberian Allah kepada kita, yaitu Anak-Nya yang tunggal.

Sejalan dengan itu, dunia pemikiran masa kini pun sedang terpukau tema 'gift' (pemberian). Ketertarikan dunia akan tema ini dipacu oleh pemikiran Marcel Mauss, seorang ahli cultural anthropology. Bagi Mauss, suatu masyarakat dibangun bukan berdasarkan solidaritas sosial melainkan berdasarkan pola gift-giving. Gift-giving itu terjadi dalam bentuk timbal-balik (exchange and reciprocity). Timbal-balik merupakan dorongan kuat dalam kehidupan manusia baik dalam membangun status maupun dalam bersosial. Pola ini membentuk persahabatan sekaligus memberikan tempat yang baru bagi si penerima. Si penerima selanjutnya akan berada di bawah status si pemberi.

Jelas dan jujur. Itulah kesan kita akan pemikiran Mauss. Bukankah masyarakat kita dibangun atas dasar economic-exchange? Ada pemberian, ada si penerima, kemudian ada perasaan berhutang ataupun perasaan lebih tinggi. Apa yang kita harapkan dengan pemberian kita? Apakah itu yang terjadi saat ini dalam pelayanan kita? Pemberian menjadikan si pemberi lebih tinggi dari si penerima. Pemberian menjadikan si penerima berhutang kepada si pemberi.

Derrida dalam bukunya Given Time, melawan pandangan Mauss. Menurutnya, Mauss berusaha mengungkapkan "everything but the gift." Mauss berbicara banyak hal namun tidak sama sekali bicara soal pemberian. Pemberian, menurut Derrida, harus memutuskan rantai timbal-balik ekonomis. Pemberian akan menjadi “gift” kalau ia mampu lepas dari proses timbal-balik. Derrida memperkenalkan pemikiran, ada si pemberi, ada pemberian, namun tidak ada si penerima. Karena ketika pemberian itu bersentuhan dengan si penerima, proses pemberian itu lenyap. Bukankah kita terngiang perkataan Tuhan Yesus, “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janglah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Matius 6:3). Apakah sama yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus?

Mauss terpaku pada pemberian (gift) itu sendiri. Pemberian mempunyai kekuatan memberikan status baru bagi si pemberi maupun si penerima. Maka pemberian itu haruslah suatu yang bernilai sehingga mampu melaksanakan proses timbal-balik itu. Kalau seorang ayah atau ibu tidak memberikan perhatian yang paling berharga bagi anaknya, jangan ia marah ketika anaknya tidak membalas sepadan sesuai harapannya. Seorang guru tidak berhak berharap banyak kalau ia tidak memberikan pemberian (gift) yang benar-benar bernilai kepada muridnya.

Namun sayang kita tidak berbicara tentang si pemberi itu sendiri. Alangkah mengerikannya seorang sanggup memberikan suatu pemberian yang bernilai katakanlah sejumlah uang yang besar, namun si pemberi itu adalah si jahat. Bukankah itu yang ditawarkan iblis kepada Yesus dalam peristiwa pencobaan di padang gurun. Luar biasa pemberiannya. Namun yang justru dipersoalkan Yesus adalah siapa si pemberi. Tanpa kita memahami si pemberi, maka pemberian dapat menjerumuskan kita. Bahkan membuat gereja tidak berdaya di tengah-tengah dunia ini.

Yakobus menegaskan, bukan hanya pemberiannya yang sempurna dan baik, namun datangnya dari “Bapa segala terang. padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.” Pemberian yang kita terima dalam keselamatan kita, datangnya dari Bapa segala terang. Inilah yang mengubah hidup kita.

Si penghutang dihapuskan hutangnya yang tiada terhingga itu. Namun ketika ia keluar, didapatinya seorang kawannya yang berhutang sekedarnya, ia segera menagih dengan kejamnya (Matius 18:21-35). Si penghutang tetap si penghutang, ia tidak mampu menjadi si pemberi yang benar. Pemberian menjadikan kekejaman muncul. Ia terjebak dalam economic-exchange tanpa memahami anugerah sesungguhnya.

Kita yang menerima pemberian yang sempurna dan baik, berasal dari Bapa segala terang, tidak ditempatkan sebagai si penerima tak berdaya. Kita diubahkan menjadi serupa dengan si pemberi pemberian yang sempurna itu. Maka kita baru memahami perkataan Tuhan Yesus, ampunilah maka kamu akan diampuni. Ini bukan economic-exchange. Ini adalah transformasi hidup.

Pemberian yang baik dan sempurna itu tidak perlu meniadakan si penerima seperti yang diangankan oleh Derrida. Pemberian yang baik itu tidak perlu juga ditaklukkan dalam economic-exchange. Pemberian yang baik dari Bapa segala terang, akan menjadikan kita si penerima sekaligus si pemberi di dalam kebenaran-Nya.

Hari ini ada banyak pemberian yang baik. Ada pengorbanan para dosen, pengorbanan wisudawan-wati, pengorbanan orang tua dan jemaat, ada banyak pemberian yang baik. Itu tidak perlu menjadikan kita penghutang karena Tuhan mengubah kita menjadi si pemberi, yaitu saluran berkat bagi kaum di muka bumi ini. Bukankah itu janji Allah kepada Abraham? Kinilah saatnya kita nyatakan dalam hidup dan pelayanan kita.

~ Pdt. Joshua Lie